ngemper demi receh
Old school Swatch Watches

RONGGENG GUNUNG

bulan 24th, taon by 45sukmana

kiosmini

Ka mana boboko suling
Teu kadeuleu-deuleu deui
Ka mana kabogoh kuring
Teu kadeulu datang deui

BAIT-bait syair berisikan kegundahan dan kesedihan seorang wanita, terdengar sangat nyaring. Terkadang irama lagunya mendayu-dayu, naik turun dalam irama yang mengalun, seolah menghanyut pendengarnya dalam ikatan suasana yang sulit dilepaskan.

Dalam temaram cahaya obor, Bi Raspi (60), demikian sang ronggeng biasa disapa, melantunkan bait demi bait kawih yang usianya sudah ratusan tahun yang diwarisinya dari kakek dan neneknya. Pada kawih kelima, tujuh penari pria mengenakan sarung memasuki lapang dan Bi Raspi yang terus berdiri dekat obor menjadi pusatnya.

Lagu yang dilantunkan ronggeng mengiringi penari pria, sangat unik dan khas. Para pengamat seni menilai, alunan suaranya sangat spesifik dan tidak ditemukan dalam kawih atau tembang Sunda lain.

Penampilan Ronggeng Gunung dari Ciamis dengan Bi Raspi dalam acara Pinton Seni Riksa Budaya dan Loncing Majalah Sunda itu, digelar di Bale Pertemuan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Jln. Dr. Setiabudhi, Senin (30/3) malam. Bi Raspi sengaja ditampilkan, bukan karena acaranya diselenggarakan mahasiswa Fakultas Bahasa Sunda, tetapi upaya pengenalan budaya Sunda yang sudah lama dan mendekati kepunahan.

AWALNYA, Ronggeng Gunung berbau maut. Kesenian tradisional Ciamis selatan itu, merupakan seni bertempur yang cerdik. Konon, orang-orang Galuh yang ikut menari menutup wajahnya dengan kain sarung sambil memancing musuhnya untuk ikut hanyut dalam tarian. Ketika musuh terpancing dan ikut ke tengah lingkaran, sebilah pisau mengintip menunggu saat yang tepat untuk ditikamkan.

Siasat itu, konon diilhami dendam Dewi Siti Samboja yang kemudian mengubah namanya menjadi Dewi Rengganis. Pasalnya, suami tercintanya, Raden Anggalarang putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, tewas dibunuh kaum perompak (bajo) di tengah perjalanan menuju Pananjung, Pangandaran. Beruntung Dewi Siti Samboja selamat dan bersembunyi di kaki gunung.

Bagi masyarakat Ciamis Selatan, kesenian ronggeng gunung pada masa jayanya bukan hanya hiburan tetapi juga pengantar upara adat. Dalam mitologi Sunda, Dewi Siti Samboja atau Dewi Rengganis hampir sama dengan Dewi Sri Pohaci yang selalu dikaitkan dengan kegiatan bertani. Oleh karena itu, tarian dalam ronggeng gunung melambangkan kegiatan Sang Dewi dalam bercocok tanam, yakni sejak turun ke sawah, menanam padi, memanen, sampai akhirnya syukuran karena panen berhasil.

Bahkan, pada saat petani mengharapkan turun hujan, ronggeng gunung dipanggil sebagai mediator. Nyi Ronggeng berkeliling kampung sambil membawa kucing. Jika menemukan sumur atau sungai yang masih ada airnya, binatang peliharaan itu kemudian dimandikan. (”PR”)***